MENCARI JODOH DALAM ISLAM
1. PACARAN MENURUT ISLAM
Gimana sich sebenernya
pacaran itu, enak ngga' ya? Bahaya ngga' ya ? Apa bener pacaran itu harus kita
lakukan kalo mo nyari pasangan hidup kita ? Apa memang bener ada pacaran yang
Islami itu, dan bagaimana kita menyikapi hal itu?
Memiliki rasa cinta adalah
fitrah
Ketika hati udah terkena
panah asmara, terjangkit virus cinta, akibatnya...... dahsyat man...... yang
diinget cuma si dia, pengen selalu berdua, akan makan inget si dia, waktu tidur
mimpi si dia. Bahkan orang yang lagi fall in love itu rela ngorbanin apa aja
demi cinta, rela ngelakuin apa aja demi cinta, semua dilakukan agar si dia tambah
cinta. Sampe' akhirnya....... pacaran yuk. Cinta pun tambah terpupuk, hati
penuh dengan bunga. Yang gawat lagi, karena pengen bukti'in cinta, bisa buat
perut buncit (hamil). Karena cinta diputusin bisa minum baygon. Karena cinta
ditolak .... dukun pun ikut bertindak.
Sebenarnya manusia secara fitrah diberi potensi
kehidupan yang sama, dimana potensi itu yang kemudian selalu mendorong manusia
melakukan kegiatan dan menuntut pemuasan. Potensi ini sendiri bisa kita kenal
dalam dua bentuk. Pertama, yang menuntut adanya pemenuhan yang sifatnya pasti,
kalo ngga' terpenuhi manusia bakalan binasa. Inilah yang disebut kebutuhan
jasmani (haajatul 'udwiyah), seperti kebutuhan makan, minum, tidur, bernafas,
buang hajat de el el. Kedua, yang menuntut adanya pemenuhan aja, tapi kalo'
kagak terpenuhi manusia ngga' bakalan mati, cuman bakal gelisah (ngga' tenang)
sampe' terpenuhinya tuntutan tersebut, yang disebut naluri atau keinginan
(gharizah). Kemudian naluri ini di bagi menjadi 3 macam yang penting yaitu :
Gharizatul baqa' (naluri untuk mempertahankan diri) misalnya rasa takut,
cinta harta, cinta pada kedudukan, pengen diakui, de el el.
Gharizatut tadayyun (naluri untuk mensucikan sesuatu/ naluri beragama)
yaitu kecenderungan manusia untuk melakukan penyembahan/ beragama kepada
sesuatu yang layak untuk disembah.
Gharizatun nau' (naluri untuk mengembangkan dan melestarikan jenisnya)
manivestasinya bisa berupa rasa sayang kita kepada ibu, temen, sodara,
kebutuhan untuk disayangi dan menyayangi kepada lawan jenis.
Pacaran dalam perspektif
islam
In fact, pacaran merupakan
wadah antara dua insan yang kasmaran, dimana sering cubit-cubitan,
pandang-pandangan, pegang-pegangan, raba-rabaan sampai pergaulan ilegal (seks).
Islam sudah jelas menyatakan: "Dan janganlah kamu mendekati zina;
sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang
buruk." (Q. S. Al Isra' : 32)
Seringkali sewaktu lagi
pacaran banyak aktivitas laen yang hukumnya wajib maupun sunnah jadi
terlupakan. Sampe-sampe sewaktu sholat sempat teringat si do'i. Pokoknya
aktivitas pacaran itu dekat banget dengan zina. So....kesimpulannya PACARAN
ITU HARAM HUKUMNYA, and kagak ada legitimasi Islam buatnya, adapun beribu
atau berjuta alasan tetep aja pacaran itu haram.
Adapun resep nabi yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas'ud: "Wahai
generasi muda, barang siapa di antara kalian telah mampu seta berkeinginan
menikah. Karena sesungguhnya pernikahan itu dapat menundukkan pandangan mata
dan memelihara kemaluan. Dan barang siapa diantara kalian belum mampu, maka
hendaklah berpuasa, karena puasa itu dapat menjadi penghalang untuk melawan
gejolak nafsu."(HR. Bukhari, Muslim, Ibnu Majjah, dan Tirmidzi).
Jangan suka mojok atau
berduaan ditempat yang sepi, karena yang ketiga adalah syaiton. Seperti sabda nabi:
"Janganlah seorang laki-laki dan wanita berkhalwat (berduaan di tempat
sepi), sebab syaiton menemaninya, janganlah salah seorang dari kalian
berkhalwat dengan wanita, kecuali disertai dengan mahramnya." (HR.
Imam Bukhari Muslim).
Dan untuk para muslimah
jangan lupa untuk menutup aurotnya agar tidak merangsang para lelaki.
Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan
pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan
perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka
menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan
perhiasannya." (Q. S. An Nuur : 31).
Dan juga sabda Nabi: "Hendaklah
kita benar-benar memejakamkan mata dan memelihara kemaluan, atau benar-benar
Allah akan menutup rapat matamu."(HR. Thabrany).
Yang perlu di ingat bahwa jodoh merupakan QADLA' (ketentuan) Allah,
dimana manusia ngga' punya andil nentuin sama sekali, manusia cuman dapat
berusaha mencari jodoh yang baik menurut Islam. Tercantum dalam Al Qur'an: "Wanita-wanita
yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat
wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk
laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang
baik (pula). Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh
mereka (yang menuduh itu). Bagi mereka ampunan dan rezki yang mulia
(surga)."
Wallahu A'lam bish-Showab
2. KRITERIA CALON ISTRI YANG IDEAL
Sekedar
sharing aja ke teman-teman semua. Tulisan ini sedikit menceritakan
tentang kriteria pasangan hidup yang kudambakan. Ya, mengingat usia
sudah tidak mudah lagi, sekarang sudah saatnya benar-benar membicarakan
masalah rencana berumah tangga, mulai dari persiapan sampai masalah
kriteria calon pasangan.hehe…
Untuk kali ini, kita fokus ke masalah kriteria calon pasangan. Karena
dalam menikah, hal utama dan paling utama selain adanya ijab qabul
adalah sepasang laki-laki dan perempuan yang akan menikah.hehe.. Khusus
dalam tulisan kali ini, saya akan memaparkan kriteria istri idaman saya.
hehe..
Bersumber dari hadits Rasullah SAW (mohon maaf, saya lupa perawi
haditsnya, mohon bantuan teman-teman untuk meluruskan jika ada
kesalahan), pilihlah calon istri itu karena dia cantik, karena
martabatnya, yang kaya, dan karena agamanya. Saya akan mencoba
memaparkannya satu persatu.
1. Cantik
Tentu saja, kecantikan sangat berkaitan dengan fisik. Jujur, saya
bukan orang yang munafik. Saya terlebih dahulu melihat kecantikan
seseorang. Tapi, tentunya masalah kecantikan ini bersifat relatif yang
artinya antara saya boleh jadi menilai si A itu cantik namun si A belum
tentu cantik menurut orang lain. Ini masalah selera.hehe…
2. Martabat atau Keluarganya
Jelas, saya ingin melihat seseorang dari bagaimana dia dididik di
keluarganya. Karena keluarga dan lingkungan sangat berpengaruh dalam
pembentukan diri seseorang. Ingat, istri adalah calon ibu dari anak-anak
dan ibu adalah madrasah pertama bagi anak-anaknya. Itulah mengapa saya
cukup memperhatikan aspek ini.
3. Kaya
Jujur, saya tidak begitu mempersoalkan masalah ini jika berkaitan
dengan materi. Saya cukup tidak peduli jika calon istri nanti adalah
anak orang kaya atau berasal dari keluarga yang biasa-biasa saja, karena
bagaimanapun setelah menikah, kita tidak akan membawa harta benda atau
kekayaan mertua. Mungkin yang sedikit diperhatikan adalah bagaimana
kemampuan calon istri tersebut untuk berusaha menjadi kaya. Baik secara
materi ataupun ilmu.
4. Agama
Ini adalah faktor pertama dan utama yang menjadi pertimbangan saya.
Bagaimana pengetahuan agama calon istri saya dan ketaatannya kepada yang
Maha Kuasa akan sangat menentukan sekali dalam menentukan calon istri.
Dan juga bagaimana ketertarikannya dalam terus mengkaji pemahaman agama
juga perlu diperhatikan. Karena menurut saya, sebuah rumah tangga yang
dibangun tanpa pondasi agama yang baik, maka rumah tangga tersebut
bagaikan sebuah kapal yang berlayar tanpa layar dan terombang-ambing di
tengah samudera dan sangat berpotensi untuk karam.
Ya, mungkin terlalu klise penjelasan-penjelasan di atas, terutama
untuk diri yang dhaif ini dengan banyak sekali kekurangannya. Tapi,
menurut saya, yang terpenting saat ini adalah bagaimana kita bisa terus
memperbaiki diri dan terus meningkatkan kualitas keimanan serta
pemahaman agama kita. Menurut sebagian orang, yang perlu diperhatikan
sebelum menikah adalah faktor keuangan dan ini biasanya menjadi faktor
mutlak bagi seorang calon ayah sebelum melepas anak perempuannya kepada
seorang laki-laki. Tapi, menurut saya, faktor ini tidaklah mutlak.
Karena Allah di dalam Al Quran sudah menjamin rejeki orang-orang yang
menikah (Baca Surat An Nur ayat 32).
Selain persiapan secara fisik, keuangan, ilmu, yang paling penting
menurut saya sebelum menikah adalah persiapan ruhiyah atau kedekatan
kita dengan Allah SWT. Terutama bagi laki-laki, karena laki-laki adalah
imam bagi keluarganya. Seorang Nahkoda yang akan menentukan kemana
berlayarnya kapal rumah tangga. Tentu, kita sangat ingin sekali memiliki
rumah tangga yang selalu dinaungi ridho Allah SWT, istri yang sholeha
yang mampu menjadi penenang dalam rumah tangga ataupun anak-anak yang
menjadi pelita dalam rumah tangga dan menyelamatkan orang tuanya di
yaumil akhir karena mereka adalah anak-anak yang hafal (hafiz/hafizah)
Quran. Subhanallah..
Saya sadar, tidak ada yang sempurna. Kita juga harus mampu menerima
kekurangan pasangan kita nantinya. Karena bagaimanapun istri kita kelak
adalah seorang manusia (ya iyalah, mau istrinya sebatang pohon?hehehe)
yang penuh sekali dengan kesalahan dan kekurangan. Kita hanya manusia,
bukan malaikat. Tidak ada yang sempurna, itu yang harus kita tanamkan di
dalam hati. Begitupun dengan diri kita, banyak sekali kekurangan
tentunya. Kita hanya manusia, tidak sempurna dan kesempurnaan hanya
milikNya! Teringat tulisan di cover buku Sakinah Bersamamu karya Asma
Nadia,
Cinta bukanlah mencari pasangan yang sempurna, tapi menerima pasangan kita dengan sempurna.
Jangan tertipu oleh penampilan,
don’t judge a book from the cover
tampaknya cukup jadi peringatan bagi kita semua. Yang terpenting saat
ini adalah bagaimana kita terus memperbaiki dan memantaskan diri untuk
pasangan kita. Seperti dalam Al Quran (Surat An Nur ayat 24), laki-laki
baik adalah untuk perempuan baik dan laki-laki keji adalah untuk
perempuan yang keji.
Wallahualam Bishawab.
3. KRITERIA CALON SUAMI YANG IDEAL
1. Islam.
Ini adalah kriteria yang sangat penting bagi seorang Muslimah dalam
memilih calon suami sebab dengan Islamlah satu-satunya jalan yang
menjadikan kita selamat dunia dan akhirat kelak.
Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
“ … dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan
wanita-wanita Mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang
Mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka
mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke Surga dan ampunan dengan
izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya)
kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.” (QS. Al Baqarah :
221)
2. Berilmu dan Baik Akhlaknya.
Masa depan kehidupan suami-istri erat kaitannya dengan memilih suami,
maka Islam memberi anjuran agar memilih akhlak yang baik, shalih, dan
taat beragama.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda :
“Apabila kamu sekalian didatangi oleh seseorang yang Dien dan
akhlaknya kamu ridhai maka kawinkanlah ia. Jika kamu sekalian tidak
melaksanakannya maka akan terjadi fitnah di muka bumi ini dan
tersebarlah kerusakan.” (HR. At Tirmidzi)
Islam memiliki pertimbangan dan ukuran tersendiri dengan
meletakkannya pada dasar takwa dan akhlak serta tidak menjadikan
kemiskinan sebagai celaan dan tidak menjadikan kekayaan sebagai pujian.
Sebagaimana firman Allah Ta’ala :
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu dan
orang-orang yang layak (nikah) dan hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan
hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan
memampukan mereka dengan karunia-Nya dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya)
lagi Maha Mengetahui.” (QS. An Nur : 32)
Laki-laki yang memilki keistimewaan adalah laki-laki yang mempunyai
ketakwaan dan keshalihan akhlak. Dia mengetahui hukum-hukum Allah
tentang bagaimana memperlakukan istri, berbuat baik kepadanya, dan
menjaga kehormatan dirinya serta agamanya, sehingga dengan demikian ia
akan dapat menjalankan kewajibannya secara sempurna di dalam membina
keluarga dan menjalankan kewajiban-kewajibannya sebagai suami, mendidik
anak-anak, menegakkan kemuliaan, dan menjamin kebutuhan-kebutuhan rumah
tangga dengan tenaga dan nafkah.
Jika dia merasa ada kekurangan pada diri si istri yang dia tidak
sukai, maka dia segera mengingat sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa
Sallam yaitu :
Dari Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu berkata, bersabda Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam : “Jangan membenci seorang Mukmin
(laki-laki) pada Mukminat (perempuan) jika ia tidak suka suatu
kelakuannya pasti ada juga kelakuan lainnya yang ia sukai.” (HR. Muslim)
Sehubungan dengan memilih calon suami untuk anak perempuan
berdasarkan ketakwaannya, Al Hasan bin Ali rahimahullah pernah berkata
pada seorang laki-laki :
“Kawinkanlah puterimu dengan laki-laki yang bertakwa sebab jika
laki-laki itu mencintainya maka dia akan memuliakannya, dan jika tidak
menyukainya maka dia tidak akan mendzaliminya.”
Untuk dapat mengetahui agama dan akhlak calon suami, salah satunya
mengamati kehidupan si calon suami sehari-hari dengan cara bertanya
kepada orang-orang dekatnya, misalnya tetangga, sahabat, atau saudara
dekatnya.
Demikianlah ajaran Islam dalam memilih calon pasangan hidup. Betapa
sempurnanya Islam dalam menuntun umat disetiap langkah amalannya dengan
tuntunan yang baik agar selamat dalam kehidupan dunia dan akhiratnya.
Wallahu A’lam Bis Shawab.
Pada saat Al-hasan bin ali ditanya oleh ssorg ttg kpd
siapakah puterinya dinikahkan,beliau mjwb,”Dengan laki2 y bertaqwa kpd
Alloh,sebab ia akan mencintai puterimu dan memuliakanya. jikalau ia
marah padanya,niscaya ia takkan menzhalimi puterimu.
=========
Seseorg bertanya kpd ayah’Abdullah Ibnul Mubarak,”wahai
mubarak,kpd siapa puteriku dinikahkan?”mubarak mjwb,”kaum jahiliyah
menikahkan dng sebab kedudukan,kaum yahudi menikahkan dng sebab
harta,kaum Nasrani menikahkan dng sebab ketampanan,mk ummat (islam) ini
menikahkan dng sebab agama”
========
Nabi berpesan,”Apabila datang kpd kalian laki2 y kalian
ridhai agama dan akhlaknya,maka nikahkanlah ia (dng puteri kalian).sebab
jk tdk,mk akan tjd fitnah dbumi dan kerusakan y besar”(HR At-Tirmidzi)
4. PERNIKAHAN DALAM ISLAM
1. Untuk Memenuhi Tuntutan Naluri Manusia yang Asasi
Pernikahan adalah fitrah manusia, maka jalan yang sah untuk memenuhi
kebutuhan ini adalah dengan ‘aqad nikah (melalui jenjang pernikahan),
bukan dengan cara yang amat kotor dan menjijikkan, seperti cara-cara
orang sekarang ini; dengan berpacaran, kumpul kebo, melacur, berzina,
lesbi, homo, dan lain sebagainya yang telah menyimpang dan diharamkan
oleh Islam.
2. Untuk Membentengi Akhlaq yang Luhur dan untuk Menundukkan Pandangan.
Sasaran utama dari disyari’atkannya pernikahan dalam Islam di antaranya
adalah untuk membentengi martabat manusia dari perbuatan kotor dan keji,
yang dapat merendahkan dan merusak martabat manusia yang luhur. Islam
memandang pernikahan dan pem-bentukan keluarga sebagai sarana efektif
untuk me-melihara pemuda dan pemudi dari kerusakan, dan melindungi
masyarakat dari kekacauan.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ
فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ،
وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ.
“Wahai para pemuda! Barangsiapa di antara kalian berkemampuan untuk
menikah, maka menikahlah, karena nikah itu lebih menundukkan pandangan,
dan lebih membentengi farji (kemaluan). Dan barangsiapa yang tidak
mampu, maka hendaklah ia shaum (puasa), karena shaum itu dapat
membentengi dirinya.”[1]
3. Untuk Menegakkan Rumah Tangga Yang Islami
Dalam Al-Qur-an disebutkan bahwa Islam membenarkan adanya thalaq
(perceraian), jika suami isteri sudah tidak sanggup lagi menegakkan
batas-batas Allah, sebagaimana firman Allah ‘Azza wa Jalla dalam ayat
berikut:
الطَّلَاقُ مَرَّتَانِ ۖ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ
بِإِحْسَانٍ ۗ وَلَا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَأْخُذُوا مِمَّا
آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا إِلَّا أَنْ يَخَافَا أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ
اللَّهِ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَلَا جُنَاحَ
عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ ۗ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا
تَعْتَدُوهَا ۚ وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَأُولَٰئِكَ هُمُ
الظَّالِمُونَ
“Thalaq (yang dapat dirujuk) itu dua kali. (Setelah itu suami dapat)
menahan dengan baik, atau melepaskan dengan baik. Tidak halal bagi kamu
mengambil kembali sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali
keduanya (suami dan isteri) khawatir tidak mampu menjalankan
hukum-hukum Allah. Jika kamu (wali) khawatir bahwa keduanya tidak mampu
menjalankan hukum-hukum Allah, maka keduanya tidak berdosa atas bayaran
yang (harus) diberikan (oleh isteri) untuk menebus dirinya. Itulah
hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa
melanggar hukum-hukum Allah, mereka itulah orang-orang zhalim.”
[Al-Baqarah : 229]
Yakni, keduanya sudah tidak sanggup melaksanakan syari’at Allah ‘Azza wa
Jalla. Dan dibenarkan rujuk (kembali nikah lagi) bila keduanya sanggup
menegakkan batas-batas Allah ‘Azza wa Jalla. Sebagaimana yang disebutkan
dalam surat Al-Baqarah, lanjutan ayat di atas:
فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّىٰ تَنْكِحَ
زَوْجًا غَيْرَهُ ۗ فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ
يَتَرَاجَعَا إِنْ ظَنَّا أَنْ يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ ۗ وَتِلْكَ
حُدُودُ اللَّهِ يُبَيِّنُهَا لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ
“Kemudian jika dia (suami) menceraikannya (setelah thalaq yang kedua),
maka perempuan itu tidak halal lagi baginya sebelum dia menikah dengan
suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka
tidak ada dosa bagi keduanya (suami pertama dan bekas isteri) untuk
menikah kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan
hukum-hukum Allah. Itulah ketentuan-ketentuan Allah yang diterangkan-Nya
kepada orang-orang yang berpengetahuan.” [Al-Baqarah : 230]
Jadi, tujuan yang luhur dari pernikahan adalah agar suami isteri
melaksanakan syari’at Islam dalam rumah tangganya. Hukum ditegakkannya
rumah tangga berdasarkan syari’at Islam adalah wajib. Oleh karena itu,
setiap muslim dan muslimah yang ingin membina rumah tangga yang Islami,
maka ajaran Islam telah memberikan beberapa kriteria tentang calon
pasangan yang ideal, yaitu harus kafa-ah dan shalihah.
a. Kafa-ah Menurut Konsep Islam
Pengaruh buruk materialisme telah banyak menimpa orang tua. Tidak
sedikit orang tua, pada zaman sekarang ini, yang selalu menitikberatkan
pada kriteria banyaknya harta, keseimbangan kedudukan, status sosial dan
keturunan saja dalam memilih calon jodoh putera-puterinya. Masalah
kufu' (sederajat, sepadan) hanya diukur berdasarkan materi dan harta
saja. Sementara pertimbangan agama tidak mendapat perhatian yang serius.
Agama Islam sangat memperhatikan kafa-ah atau kesamaan, kesepadanan atau
sederajat dalam hal per-nikahan. Dengan adanya kesamaan antara kedua
suami isteri itu, maka usaha untuk mendirikan dan membina rumah tangga
yang Islami -insya Allah- akan terwujud. Namun kafa-ah menurut Islam
hanya diukur dengan kualitas iman dan taqwa serta akhlak seseorang,
bukan diukur dengan status sosial, keturunan dan lain-lainnya. Allah
‘Azza wa Jalla memandang derajat seseorang sama, baik itu orang Arab
maupun non Arab, miskin atau kaya. Tidak ada perbedaan derajat dari
keduanya melainkan derajat taqwanya.
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَىٰ
وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ
عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
“
Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan, kemudian kami jadikan kamu
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh,
yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling
bertaqwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti.” [Al-Hujuraat :
13]
Bagi mereka yang sekufu’, maka tidak ada halangan bagi keduanya untuk
menikah satu sama lainnya. Wajib bagi para orang tua, pemuda dan pemudi
yang masih berorientasi pada hal-hal yang sifatnya materialis dan
mempertahankan adat istiadat untuk meninggalkannya dan kembali kepada
Al-Qur-an dan Sunnah Nabi yang shahih, sesuai dengan sabda Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ ِلأَرْبَعٍِ: لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا
وَلِجَمَالِهَا وَلِدِيْنِهَا، فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّيْنِ تَرِبَتْ
يَدَاكَ.
“Seorang wanita dinikahi karena empat hal; karena hartanya,
keturunannya, kecantikannya, dan agamanya. Maka hendaklah kamu pilih
wanita yang taat agamanya (ke-Islamannya), niscaya kamu akan beruntung.”
[2]
Hadits ini menjelaskan bahwa pada umumnya seseorang menikahi wanita
karena empat hal ini. Dan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam
menganjurkan untuk memilih yang kuat agamanya, yakni memilih yang
shalihah karena wanita shalihah adalah sebaik-baik perhiasan dunia, agar
selamat dunia dan akhirat.
Namun, apabila ada seorang laki-laki yang memilih wanita yang cantik,
atau memiliki harta yang melimpah, atau karena sebab lainnya, tetapi
kurang agamanya, maka bolehkah laki-laki tersebut menikahinya? Para
ulama membolehkannya dan pernikahannya tetap sah.
Allah menjelaskan dalam firman-Nya:
الْخَبِيثَاتُ لِلْخَبِيثِينَ وَالْخَبِيثُونَ لِلْخَبِيثَاتِ ۖ وَالطَّيِّبَاتُ لِلطَّيِّبِينَ وَالطَّيِّبُونَ لِلطَّيِّبَاتِ
“Perempuan-perempuan yang keji untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki
yang keji untuk perempuan-perempuan yang keji (pula). Sedangkan
perempuan-perempuan yang baik untuk laki-laki yang baik dan laki-laki
yang baik untuk perempuan-perempuan yang baik (pula)...” [An-Nuur : 26]
b. Memilih Calon Isteri Yang Shalihah
Seorang laki-laki yang hendak menikah harus memilih wanita yang
shalihah, demikian pula wanita harus memilih laki-laki yang shalih.
Menurut Al-Qur-an, wanita yang shalihah adalah:
فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ
“...Maka perempuan-perempuan yang shalihah adalah mereka yang taat
(kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada, karena
Allah telah menjaga (me-reka)...” [An-Nisaa' : 34]
Lafazh قَانِتَاتٌ dijelaskan oleh Qatadah, artinya wanita yang taat kepada Allah dan taat kepada suaminya.[3]
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
اَلدُّنْيَا مَتَاعٌ وَخَيْرُ مَتَاعِ الدُّنْيَا الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ.
“Dunia adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita yang shalihah.” [4]
Dalam hadits yang lain, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
خَيْرُ النِّسَاءِ الَّتِي تَسُرُّهُ إِذَا نَظَرَ إِلَيْهَا وَتُطِيْعُهُ
إِذَا أَمَرَ وَلاَ تُخَالِفُهُ فِيْ نَفْسِهَا وَلاَ مَالِهَا بِمَا
يَكْرَهُ.
“Sebaik-baik wanita adalah yang menyenangkan suami apabila ia
melihatnya, mentaati apabila suami menyuruhnya, dan tidak menyelisihi
atas diri dan hartanya dengan apa yang tidak disukai suaminya.” [5]
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
أَرْبَعٌ مِنَ السَّعَادَةِ: اَلْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ، وَالْمَسْكَنُ
الْوَاسِعُ، وَالْجَارُ الصَّالِحُ، وَالْمَرْكَبُ الْهَنِيْءُ، وَأَرْبَعٌ
مِنَ الشَّقَاوَةِ: اَلْجَارُ السُّوْءُ، وَالْمَرْأَةُ السُّوْءُ،
وَالْمَسْكَنُ الضَّيِّقُ، وَالْمَرْكَبُ السُّوْءُ.
“Empat hal yang merupakan kebahagiaan; isteri yang shalihah, tempat
tinggal yang luas, tetangga yang baik, dan kendaraan yang nyaman. Dan
empat hal yang merupakan kesengsaraan; tetangga yang jahat, isteri yang
buruk, tempat tinggal yang sempit, dan kendaraan yang jelek.” [6]
Menurut Al-Qur-an dan As-Sunnah yang shahih, dan penjelasan para ulama bahwa di antara ciri-ciri wanita shalihah ialah :
1. Taat kepada Allah dan taat kepada Rasul-Nya,
2. Taat kepada suami dan menjaga kehormatannya di saat suami ada atau tidak ada serta menjaga harta suaminya,
3. Menjaga shalat yang lima waktu,
4. Melaksanakan puasa pada bulan Ramadhan,
5. Memakai jilbab yang menutup seluruh auratnya dan tidak untuk pamer kecantikan (tabarruj) seperti wanita Jahiliyyah. [7]
6. Berakhlak mulia,
7. Selalu menjaga lisannya,
8. Tidak berbincang-bincang dan berdua-duaan dengan laki-laki yang bukan mahramnya karena yang ke-tiganya adalah syaitan,
9. Tidak menerima tamu yang tidak disukai oleh suaminya,
10. Taat kepada kedua orang tua dalam kebaikan,
11. Berbuat baik kepada tetangganya sesuai dengan syari’at.
Apabila kriteria ini dipenuhi -insya Allah- rumah tangga yang Islami akan terwujud.
Sebagai tambahan, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan
untuk memilih wanita yang subur (banyak keturunannya) dan penyayang
agar dapat melahirkan generasi penerus ummat.
4. Untuk Meningkatkan Ibadah Kepada Allah
Menurut konsep Islam, hidup sepenuhnya untuk mengabdi dan beribadah
hanya kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan berbuat baik kepada sesama
manusia. Dari sudut pandang ini, rumah tangga adalah salah satu lahan
subur bagi peribadahan dan amal shalih di samping ibadah dan amal-amal
shalih yang lain, bahkan berhubungan suami isteri pun termasuk ibadah
(sedekah).
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
...وَفِي بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ، قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ،
أَيَأْتِي أَحَدُنَا شَهْوَتَهُ وَيَكُوْنُ لَهُ فِيْهَا أَجْرٌ؟ قَالَ:
أَرَأَيْتُمْ لَوْ وَضَعَهَا فِي حَرَامٍ، أَكَانَ عَلَيْهِ فِيْهَا
وِزْرٌ؟ فَكَذَلِكَ إِذَا وَضَعَهَا فِي الْحَلاَلِ كَانَ لَهُ أَجْرٌ.
“... Seseorang di antara kalian bersetubuh dengan isterinya adalah
sedekah!” (Mendengar sabda Rasulullah, para Shahabat keheranan) lalu
bertanya: “Wahai Rasulullah, apakah salah seorang dari kita melampiaskan
syahwatnya terhadap isterinya akan mendapat pahala?” Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam menjawab: “Bagaimana menurut kalian jika ia (seorang
suami) bersetubuh dengan selain isterinya, bukankah ia berdosa? Begitu
pula jika ia bersetubuh dengan isterinya (di tempat yang halal), dia
akan memperoleh pahala.” [8]
5. Untuk Memperoleh Keturunan Yang Shalih
Tujuan pernikahan di antaranya adalah untuk memperoleh keturunan yang
shalih, untuk melestarikan dan mengembangkan bani Adam, sebagaimana
firman Allah ‘Azza wa Jalla:
وَاللَّهُ جَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا وَجَعَلَ لَكُمْ
مِنْ أَزْوَاجِكُمْ بَنِينَ وَحَفَدَةً وَرَزَقَكُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ ۚ
أَفَبِالْبَاطِلِ يُؤْمِنُونَ وَبِنِعْمَتِ اللَّهِ هُمْ يَكْفُرُونَ
“Dan Allah menjadikan bagimu pasangan (suami atau isteri) dari jenis
kamu sendiri dan menjadikan anak dan cucu bagimu dari pasanganmu, serta
memberimu rizki dari yang baik. Mengapa mereka beriman kepada yang
bathil dan mengingkari nikmat Allah?” [An-Nahl : 72]
Yang terpenting lagi dalam pernikahan bukan hanya sekedar memperoleh
anak, tetapi berusaha mencari dan membentuk generasi yang berkualitas,
yaitu mencari anak yang shalih dan bertaqwa kepada Allah.
Sebagaimana firman Allah ‘Azza wa Jalla:
وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ
“...Dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah bagimu (yaitu anak).” [Al-Baqarah : 187]
Abu Hurairah, Ibnu ‘Abbas dan Anas bin Malik radhiyallaahu ‘anhum, juga
Imam-Imam lain dari kalangan Tabi’in menafsirkan ayat di atas dengan
anak.[9]
Maksudnya, bahwa Allah ‘Azza wa Jalla memerintahkan kita untuk
memperoleh anak dengan cara ber-hubungan suami isteri dari apa yang
telah Allah tetapkan untuk kita. Setiap orang selalu berdo’a agar
diberikan keturunan yang shalih. Maka, jika ia telah dikarunai anak,
sudah seharusnya jika ia mendidiknya dengan benar.
Tentunya keturunan yang shalih tidak akan diperoleh melainkan dengan
pendidikan Islam yang benar. Hal ini mengingat banyaknya lembaga
pendidikan yang berlabel Islam, tetapi isi dan caranya sangat jauh
bahkan menyimpang dari nilai-nilai Islami yang luhur. Sehingga banyak
kita temukan anak-anak kaum muslimin yang tidak memiliki akhlak mulia
yang sesuai dengan nilai-nilai Islam, disebabkan karena pendidikan dan
pembinaan yang salah. Oleh karena itu, suami maupun isteri bertanggung
jawab untuk mendidik, mengajar, dan mengarahkan anak-anaknya ke jalan
yang benar, sesuai dengan agama Islam.
Tentang tujuan pernikahan, Islam juga memandang bahwa pembentukan
keluarga itu sebagai salah satu jalan untuk merealisasikan tujuan-tujuan
yang lebih besar yang meliputi berbagai aspek kemasyarakatan yang akan
mempunyai pengaruh besar dan mendasar terhadap kaum muslimin dan
eksistensi ummat Islam
[Disalin dari buku Bingkisan Istimewa Menuju Keluarga Sakinah, Penulis
Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa Bogor - Jawa
Barat, Cet Ke II Dzul Qa'dah 1427H/Desember 2006]
_______
Footnote
[1]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Ahmad (I/424, 425, 432),
al-Bukhari (no. 1905, 5065, 5066), Muslim (no. 1400), at-Tirmidzi (no.
1081), an-Nasa-i (VI/56, 57), ad-Darimi (II/132) dan al-Baihaqi (VII/
77), dari Shahabat ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu.
[2]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5090), Muslim (no.
1466), Abu Dawud (no. 2047), an-Nasa-i (VI/68), Ibnu Majah (no. 1858),
Ahmad (II/428), dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu.
[3]. Tafsiir Ibnu Jarir ath-Thabari (IV/62, no. 9320).
[4]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 1467), an-Nasa-i
(VI/69), Ahmad (II/168), Ibnu Hibban (no. 4020 -at-Ta’liqaatul Hisaan)
dan al-Baihaqi (VII/80) dari ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallaahu ‘anhuma.
[5]. Hadits hasan: Diriwayatkan oleh an-Nasa-i (VI/68), al-Hakim
(II/161) dan Ahmad (II/251, 432, 438), dari Shahabat Abu Hurairah
radhi-yallaahu ‘anhu. Lihat Silsilah ash-Shahiihah (no. 1838).
[6]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban (no. 4021
-at-Ta’liiqatul Hisaan ‘ala Shahiih Ibni Hibban) dari hadits Sa’ad bin
Abi Waqqash secara marfu’. Lihat Silsilah ash-Shahiihah (no. 282).
[7]. Lihat surat Al-Ahzaab (33) ayat 33.
[8]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 1006), al-Bukhari
dalam al-Adaabul Mufrad (no. 227), Ahmad (V/167, 168), Ibnu Hibban (no.
4155 -at-Ta’liiqatul Hisaan) dan al-Baihaqi (IV/188), dari Abu Dzarr
radhiyallaahu ‘anhu.
[9]. Tafsiir Ibnu Katsir (I/236), cet. Darus Salam.
Rukun nikah
Syarat calon suami
- Islam
- Laki-laki yang tertentu
- Bukan lelaki muhrim dengan calon istri
- Mengetahui wali yang sebenarnya bagi akad nikah tersebut
- Bukan dalam ihram haji atau umroh
- Dengan kerelaan sendiri dan bukan paksaan
- Tidak mempunyai empat orang istri yang sah dalam suatu waktu
- Mengetahui bahwa perempuan yang hendak dinikahi adalah sah dijadikan istri
Syarat bakal istri
- Islam
- Perempuan yang tertentu
- Bukan perempuan muhrim dengan calon suami
- Bukan seorang banci
- Bukan dalam ihram haji atau umroh
- Tidak dalam iddah
- Bukan istri orang
Syarat wali
- Islam, bukan kafir dan murtad
- Lelaki dan bukannya perempuan
- Telah pubertas
- Dengan kerelaan sendiri dan bukan paksaan
- Bukan dalam ihram haji atau umroh
- Tidak fasik
- Tidak cacat akal pikiran, gila, terlalu tua dan sebagainya
- Merdeka
- Tidak dibatasi kebebasannya ketimbang membelanjakan hartanya
Sebaiknya calon istri perlu memastikan syarat WAJIB menjadi wali.
Jika syarat-syarat wali terpenuhi seperti di atas maka sahlah sebuah
pernikahan itu.Sebagai seorang mukmin yang sejati, kita hendaklah
menitik beratkan hal-hal yag wajib seperti ini.Jika tidak, kita hanya
akan dianggap hidup dalam berzinahan selamanya.
Jenis-jenis wali
- Wali mujbir:
Wali dari bapaknya sendiri atau kakek dari bapa yang mempunyai hak
mewalikan pernikahan anak perempuannya atau cucu perempuannya dengan
persetujuannya (sebaiknya perlu mendapatkan kerelaan calon istri yang
hendak dinikahkan)
- Wali aqrab: Wali terdekat yang telah memenuhi syarat yang layak dan berhak menjadi wali
- Wali ab’ad: Wali yang sedikit mengikuti susunan yang layak
menjadi wali, jikalau wali aqrab berkenaan tidak ada. Wali ab’ad ini
akan digantikan oleh wali ab’ad lain dan begitulah seterusnya mengikut
susunan tersebut jika tidak ada yang terdekat lagi.
- Wali raja/hakim: Wali yang diberi hak atau ditunjuk oleh
pemerintah atau pihak berkuasa pada negeri tersebut oleh orang yang
telah dilantik menjalankan tugas ini dengan sebab-sebab tertentu
Syarat-syarat saksi
- Sekurang-kurangya dua orang
- Islam
- Berakal
- Telah pubertas
- Laki-laki
- Memahami isi lafal ijab dan qobul
- Dapat mendengar, melihat dan berbicara
- Adil (Tidak melakukan dosa-dosa besar dan tidak terlalu banyak melakukan dosa-dosa kecil)
- Merdeka
Syarat ijab
- Pernikahan nikah ini hendaklah tepat
- Tidak boleh menggunakan perkataan sindiran
- Diucapkan oleh wali atau wakilnya
- Tidak diikatkan dengan tempo waktu seperti mutaah(nikah kontrak atau
pernikahan (ikatan suami istri) yang sah dalam tempo tertentu seperti
yang dijanjikan dalam persetujuan nikah muataah)
- Tidak secara taklik(tidak ada sebutan prasyarat sewaktu ijab dilafalkan)
Contoh bacaan Ijab:Wali/wakil Wali berkata kepada calon suami:
"Aku nikahkan Anda dengan Diana Binti Daniel dengan mas kawin berupa seperangkap alat salat dibayar tunai".
Syarat qobul
- Ucapan mestilah sesuai dengan ucapan ijab
- Tidak ada perkataan sindiran
- Dilafalkan oleh calon suami atau wakilnya (atas sebab-sebab tertentu)
- Tidak diikatkan dengan tempo waktu seperti mutaah(seperti nikah kontrak)
- Tidak secara taklik(tidak ada sebutan prasyarat sewaktu qobul dilafalkan)
- Menyebut nama calon istri
- Tidak ditambahkan dengan perkataan lain
Contoh sebutan qabul(akan dilafazkan oleh bakal suami):
"Aku terima nikahnya dengan Diana Binti Daniel dengan mas kawin berupa seperangkap alat salat dibayar tunai" ATAU "Aku terima Diana Binti Daniel sebagai istriku".
Setelah qobul dilafalkan Wali/wakil Wali akan mendapatkan kesaksian dari
para hadirin khususnya dari dua orang saksi pernikahan dengan cara
meminta saksi mengatakan lafal
"SAH" atau perkataan lain yang sama maksudya dengan perkataan itu.
Selanjutnya Wali/wakil Wali akan membaca doa selamat agar pernikahan
suami istri itu kekal dan bahagia sepanjang kehidupan mereka serta doa
itu akan diAminkan oleh para hadirin
Bersamaan itu pula, mas kawin/mahar akan diserahkan kepada pihak
istri dan selanjutnya berupa cincin akan dipakaikan kepada jari cincin
istri oleh suami sebagai tanda dimulainya ikatan kekeluargaan atau
simbol pertalian kebahagian suami istri.Aktivitas ini diteruskan dengan
suami mencium istri.Aktivitas ini disebut sebagai "Pembatalan Wudhu".Ini
karena sebelum akad nikah dijalankan suami dan isteri itu diminta untuk
ber
wudhu terlebih dahulu.
Suami istri juga diminta untuk salat sunat nikah sebagai tanda syukur
setelah pernikahan berlangsung. Pernikahan Islam yang memang amat mudah
karena ia tidak perlu mengambil masa yang lama dan memerlukan banyak
aset-aset pernikahan disamping mas kawin,hantaran atau majelis umum
(walimatul urus)yang tidak perlu dibebankan atau dibuang.
Wakil Wali/ Qadi
Wakil wali/
Qadi
adalah orang yang dipertanggungjawabkan oleh institusi Masjid atau
jabatan/pusat Islam untuk menerima tuntutan para Wali untuk
menikahkan/mengahwinkan bakal istri dengan bakal suami.Segala urusan
pernikahan,penyediaan aset pernikahan seperti mas kawin,barangan
hantaran(hadiah),penyedian tempat pernikahan,jamuan makan kepada para
hadirin dan lainnya adalah tanggungjawab pihak suami istri itu. Qadi
hanya perlu memastikan aset-aset itu telah disediakan supaya urusan
pernikahan berjalan lancar.Disamping tanggungjawabnya menikahi suami
istri berjalan dengan sempurna,Qadi perlu menyempurnakan dokumen-dokumen
berkaitan pernikahan seperti sertifikat pernikahan dan pengesahan suami
istri di pihak tertinggi seperti mentri agama dan administratif
negara.Untuk memastikan status resmi suami isteri itu sentiasa sulit dan
terpelihara.Qadi selalunya dilantik dari kalangan orang-orang alim(yang
mempunyai pengetahuan dalam agama Islam dengan luas) seperti
Ustaz,Muallim,Mufti,Sheikh ulIslam dan sebagainya.Qadi juga mesti
merupakan seorang laki-laki Islam yang sudah merdeka dan telah pubertas.